Memasuki tahun 2025, suhu politik di Indonesia masih terasa hangat pasca euforia Pemilu 2024. Banyak pihak kini tengah menata langkah baru dalam menghadapi arah pemerintahan berikutnya. Namun di balik geliat demokrasi itu, muncul satu persoalan yang semakin mencolok — polarisasi politik yang membelah masyarakat ke dalam kubu-kubu berseberangan.
Fenomena polarisasi ini bukan hal yang asing. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat kerap terjebak dalam perdebatan sengit di dunia maya, yang sering kali berujung pada perpecahan. Media sosial menjadi arena utama di mana opini publik terbentuk dan bertarung. Setiap isu politik dengan cepat berubah menjadi topik panas yang memisahkan teman, keluarga, bahkan komunitas.
Akar dari masalah ini sebenarnya kompleks. Cara komunikasi politik yang mengandalkan emosi dan identitas kelompok membuat masyarakat lebih mudah terbawa arus perbedaan. Banyak politisi menggunakan pendekatan yang menonjolkan “kami” versus “mereka,” alih-alih menawarkan solusi konkret untuk masalah bangsa. Narasi seperti ini kemudian diperkuat oleh algoritma media sosial yang hanya menampilkan konten sesuai dengan pandangan pengguna, menciptakan ruang gema yang mempersempit kesempatan untuk mendengar perspektif lain.
Polarisasi yang dibiarkan tanpa kendali berpotensi menimbulkan dampak negatif yang luas. Rasa saling percaya antarwarga dapat menurun, dan proses demokrasi menjadi rapuh karena keputusan diambil bukan atas dasar logika, tetapi emosi. Ketika masyarakat lebih sibuk mempertahankan kebenarannya masing-masing, diskusi untuk mencari titik temu semakin jarang terjadi. Padahal, demokrasi sejati justru membutuhkan keberanian untuk berdialog dan mencari kesepakatan bersama.
Untuk itu, peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan media sangat penting dalam meredam ketegangan yang ada. Pemerintah perlu memperkuat literasi politik dan digital agar masyarakat mampu memilah informasi dengan bijak. Media pun harus kembali https://www.maestravidasthlm.com/ pada fungsi utamanya: menyajikan berita yang berimbang dan faktual, bukan sekadar mengejar sensasi yang memperkeruh suasana.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga harmoni. Tidak semua perbedaan harus dihadapi dengan permusuhan. Menghormati pandangan orang lain, mendengar dengan empati, dan mencari solusi bersama adalah langkah kecil yang bisa berdampak besar bagi persatuan bangsa.
Indonesia dibangun atas dasar keberagaman, dan dari sanalah kekuatannya muncul. Jika setiap warga mampu menahan diri dari provokasi dan lebih memilih jalan dialog, maka polarisasi politik dapat berkurang perlahan. Tahun 2025 seharusnya bukan menjadi ajang memperdalam perpecahan, tetapi momen untuk memperkuat semangat kebersamaan dan menjaga agar demokrasi tetap sehat serta inklusif bagi semua.
Baca Juga : Islah PPP: Gus Yasin Jadi Sekjen Jalan Tengah Memulihkan Stabilitas Partai